Mungkin terdengar seperti itu maksudnya-setelah membaca sebuah artikel mengenai prilaku kehidupan seksual mahasiswi di Amerika. Artikel aslinya bisa anda baca di sini.
Sebuah studi dilakukan di University of New York Amerika melibatkan sedikitnya 300 orang mahasiswi guna mengetahui hubungan prilaku seksual mereka terhadap tingkat depresi dikehidupan sehari-hari. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mahasiswi yang melakukan aktivitas seksual tanpa mengindahkan konsekuensi fertilitasseperti; menggunakan kondom, coitus interuptus atau melakukan senggama normal mempunyai nilai index kebahagian lebih tinggi dibanding mahasiswi yang berhati-hati dalam prilaku seksual atau tidak sama-sekali melakukannya.
Terlepas dari fakta bahwa sex memberikan efek positif bagi kesehatan baik fisik maupun psikologi, namun dalam berbagai kondisi tertentu tidak memberikan hal yang sama. Sebut saja prilaku coitus, penggunaan kondom, anal dan oral sex yang dilakukan responden dalam hasil studi ini menunjukkan hal tersebut tidak memperbaiki kualitas kebahagiaan mereka, bahkan cenderung depresif, mudah putus asa dan pesimis dalam kehidupannya. Hampir 28% responden memiliki kecendrungan bunuh diri berasal dari mahasiswi yang selalu menganjurkan pemakaian kondom saat behubungan, 13.2% selalu menggunakan kondom, 7.4% kadang-kadang dan 4.5% yang tidak menggunakan sama sekali.
Waffles McButter dalam postingannya di blog brobible.com berpendapat, indeks kebahagian berdasar pada prilaku seksual dalam studinya ini lebih dari sekedar hubungan antara kualitas kehidupan seksual dan kualitas hidup itu sendiri. Semakin berkualitas aktivitas seksual seseorang maka semakin optimis dan bahagia orang tersebut. Apakah wanita yang selalu khawatir menjadi hamil dan mencari solusi dalam melakukan aktivitas seksualnya cenderung tidak bahagia ? tergantung dari mana kita melihatnya.
Wanita lebih cepat depresi ketimbang pria dan ini alami. Dalam era sex bebas seperti sekarang, sukar bagi kebanyakan wanita untuk tidak khawatir terhadap fertilitas dalam setiap aktivitas seksual yang dilakukannya. Sehingga wajar bila ada pendapat wanita melakukan sex berdasar pada perasaan dan dorongan fisik dan ini merupakan sumber depresan bagi mereka. Berbeda dengan wanita yang lebih terbuka dengan konsekuensi tersebut, mereka cenderung menikmati ketimbang memikirkannya dan ini tipikal. Tidak ada beban dan kekhawatiran selain itu ada kaitan pengaruh kimiawi sperma dengan prilaku hormon wanita, ini memacu kondisi mereka secara fisik-psikis kearah yang positif dan ilmu pengetahuan telah membuktikannya.
Tentu kita bertanya-tanya bagaimana pendapat para responden mengenai hal ini. Beberapa dari mereka yang berhati-hati dan menganggap coitus diakhiri dengan ejakulasi adalah pengalaman yang menyenangkan dan mereka menikmati namun menghindarinya. Kondom dan coitus interuptus merupakan solusi, foreplay diakhiri dengan penetrasi tanpa harus ejakulasi di liang senggama sudah cukup walaupun sensasi fertilitas tetap merupakan godaan yang sulit untuk ditolak dan kondom merupakan ide terakhir apabila tidak ada opsi lain, efeknya agak sedikit kurang menyenangkan. Bagaimana dengan pendapat lainnya, para responden yang mengabaikan masalah fertilitas lebih agresif dalam menyikapi hal ini. “kami telah memberikan surga dunia, maka jangan ragu memberikan kami bonus dengan tidak membuangnya ketempat lain terutama wajah dan perut–lebih menyenangkan bila dibuang ditempatnya”. Kesimpulan dari kedua pendapat tersebut adalah apapun konsekuensinya, secara alami wanita menginginkan penyelesaian yang normal pada setiap session bercinta dan itu dapat berpengaruh terhadap kadar kebahagian yang mereka rasakan.
Di akhir tulisannya Waffles McButter mengatakan, ini mungkin sebuah pendapat yang konyol namun patut untuk direnungkan. Apabila anda ingin menolong teman, kekasih, istri atau kenalan wanita anda dari depresi yang berujung pada kematian, ”Cobalah untuk menumpahkan peluru yang anda tembakkan pada tempatnya”.
http://jarakada.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment